Nailul juga menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi para pengemudi yang selama ini mendapat manfaat dari sistem fleksibel tersebut. Wijayanto Samirin, Ekonom Senior Universitas Paramadina, mengusulkan agar kebijakan ini dipertimbangkan dengan hati-hati.
"Kebijakan ini harus dilihat dari berbagai aspek, tidak hanya dari sisi perlindungan sosial tetapi juga dampaknya terhadap model bisnis dan daya saing industri. Jika status pengemudi diubah, bisa jadi banyak orang yang menginginkan pekerjaan fleksibel dengan pendapatan harian akan kehilangan kesempatan,” kata Wijayanto.
Ia menambahkan bahwa kebijakan seperti ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan industri yang dapat menyediakan banyak peluang kerja dengan fleksibilitas tinggi. Pendapat dari pihak aplikator mengenai wacana ini juga beragam.
Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, menyampaikan bahwa kebijakan ini justru bisa merugikan ekosistem transportasi digital yang telah terbentuk. "Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu,” jelas Tirza.
Ia juga mengingatkan bahwa skema kerja saat ini justru berfungsi sebagai bantalan sosial bagi banyak orang, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi. “Jika kita ubah semuanya jadi karyawan, barrier to entry akan naik. Hanya sebagian orang yang akan bisa bekerja, sementara jutaan yang lain kehilangan akses untuk mencari nafkah,” ungkap Tirza.
Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para mitra pengemudi, tetapi juga pada banyak usaha kecil dan menengah (UMKM) yang bergantung pada layanan GrabFood, GrabMart, dan lainnya.
Lebih lanjut, Tirza juga menambahkan bahwa jika pengemudi diubah menjadi pekerja tetap, perusahaan akan menanggung biaya tetap yang mungkin tidak selalu sebanding dengan tingkat permintaan.
“Biaya operasional bisa melonjak, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga layanan yang harus dibayar oleh konsumen,” tambahnya.
Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, menyatakan bahwa kebijakan ini perlu dilihat dari perspektif keberlanjutan industri serta akses masyarakat terhadap pekerjaan.
"Menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap dapat mengubah keseimbangan yang sudah ada antara fleksibilitas kerja dan akses ekonomi. Jika status mereka berubah, sektor ini akan kehilangan karakter inklusivitas yang membuatnya dapat diakses oleh hampir semua orang," ujarnya.
Modantara juga menyoroti bahwa perubahan ini akan mempengaruhi tidak hanya para pengemudi, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada layanan ojol sebagai sarana transportasi murah dan cepat. Maman Abdurrahman: Memasukkan Ojol Sebagai UMKM Sebagai Jalan Tengah Namun, di tengah perdebatan mengenai status pengemudi ojol, ada pula solusi yang dianggap sebagai jalan tengah yang tepat.
Maman Abdurrahman, Menteri Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), mengusulkan agar pengemudi ojol dimasukkan sebagai bagian dari pelaku UMKM. Gagasan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk ekonom Wijayanto Samirin, yang menilai bahwa ini adalah langkah yang sangat tepat.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait