Bukan hanya wisatawan nusantara, namun juga wisatawan manca negara. Bahkan pembeli yang sempat datang ketempatnya dan membeli produknya melanjutkan dengan pembelian dalam skala besar. Alhasil, kerajinan Amin pun menembus pasar ekspor ke negara-negara seperti Prancis, Amerika Serikat, dan Australia.
Perjalanan usaha Amin memang tidak selalu berjalan mulus. Ketika ia mengubah pola penjualan dari sistem promosi dan keliling ke berbagai tempat menjadi offline dan fokus pada membesarkan toko offline miliknya, sempat membuat penjualan kerajinan Amin menurun.
“Dari sini saya belajar bahwa berjualan hanya melalui toko fisik turut mempengaruhi penjualan. Terlebih dengan persaingan pasar dimana banyak pengrajin yang bermunculan di sekitar kawasan wisata Candi Borobudur,” ujarnya, Senin (12/5).
Untuk itu ia kembali menggunakan dua jalur pemasaran, baik offline maupun mengikuti berbagai pameran baik yang diselenggarakan di Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya. Alhasil, penjualannya kembali stabil.
“Agar pembeli puas dengan produk kerajinan, saya berkomitmen untuk terus menjaga mutu produknya. Dengan demikian pembeli baru atau pun konsumen lama, akan terus menjadi pelanggan,” ujarnya.
Amin mengaku, pada masa jayanya, satu unit kerajinan bisa dijual seharga Rp15.000 dan mampu terjual hingga 500 unit per hari. Bahkan ketika banyak pelancong dari luar negeri yang datang ke Borobudur menggunakan kapal pesiar melalui pelabuhan Semarang, satu unit kerajinan bisa terjual hingga USD 100.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait