JAKARTA, iNewsSemarang.id - Belasan akademisi hukum pidana dari berbagai universitas menyerahkan dokumen amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya menguji konstitusionalitas Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sebanyak 18 akademisi itu menyoroti frasa "mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung" pada Pasal 21 UU Tipikor yang dinilai tidak memiliki batasan hukum yang jelas.
Ketidakjelasan tersebut dianggap bertentangan dengan asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana.
Dokumen amicus curiae diajukan pada Kamis (9/10/2025) dalam konteks perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 163/PUU-XXIII/2025 yang teregister atas nama Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
"Tidak ada parameter yang pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’. Akibatnya, aparat penegak hukum bisa menafsirkan secara bebas bahkan terhadap tindakan yang sah seperti pengajuan praperadilan, nasihat advokat, atau sikap diam," tulis para akademisi yang disampaikan Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura, Minggu (12/10/2025).
Mereka menegaskan bahwa tafsir bebas tersebut melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi dan menimbulkan praktik over kriminalisasi.
Para akademisi juga menyoroti tidak adanya unsur 'melawan hukum' dalam pasal tersebut, sehingga tindakan legal seperti pembelaan diri di pengadilan dapat dianggap menghalangi penyidikan. Mereka juga mempertanyakan proporsionalitas ancaman pidananya.
"Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional," ujar para akademisi.
Para ahli hukum yang terdiri atas profesor dan doktor seperti Prof Tongat dari UMM, Prof Mahmutarom HR dari Unwahas, dan Prof Rena Yulia dari Untirta meminta MK memberikan tafsir pembatasan terhadap pasal tersebut.
Editor : Arni Sulistiyowati
Artikel Terkait