Sains Ramadhan: Aneka Spesies Tanaman Obat, Warisan Pengetahuan Etnobotani dari Sunan Muria

Moh. Miftahul Arief
Di Kudus ada mitos khasiat buah parijoto dan delima wulung jika dikonsumsi oleh ibu hamil. Jika bayinya laki-laki akan sempurna fisiknya. Sedangkan jika bayinya perempauan akan menjadi cantik dan molek. Foto: Ist

TULISAN INI dilatar belakangi oleh kekaguman penulis pada tradisi ziarah makam Wali masyarakat Jawa. Ziarah wali sudah  menjadi ritual dari tahun ketahun pada masyarakat Jawa.

Sebagai kaum pendatang, penulis tidak saja hanya menganggap tradisi ini menarik, tetapi perlu terus dipelihara eksistensinya untuk mengingat jasa para walisongo dalam syiar islam di tanah jawa.   

Jika ibadah puasa merupakan salah satu momentum untuk membersihkan bathin,  Hari Raya Idul Fitri sebagai momentum untuk membersihkan dosa kepada sesama manusia, maka ziarah wali –selain diyakini mendatangkan keberkahan bagi para peziarah- juga dianggap sebagai  prosesi dzikr al maut, sebagai pelengkap ritual untuk menyempurnakan nilai kerohanian, keduniawian maupun  relasi di antara keduanya.  

Salah satu makam yang sangat menarik perhatian penulis adalah makam Sunan Muria di desa Colo. Makam ini terasa spesial karena posisinya berada di puncak Gunung Muria sehingga untuk mencapainya peziarah harus sedikit punya “nyali” agar bisa sampai ke atas. Posisi makam yang berada di ketinggian bisa dicapai dengan menaiki ojek melalui jalan yang terjal dan sempit.

Meski demikian makam ini selalu ramai oleh para peziarah yang menandakan kecintaan yang besar pada sang pemilik makam.

Desa  Colo merupakan sebuah  desa di Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus Jawa Tengah, tepatnya berada di Gunung Muria.

Hamparan kebun yang begitu luas dan Gunung Muria yang menjulang tinggi, membuat pemandangan terlihat  begitu indah terutama dipagi hari. Desa ini juga menyimpan keanekaragaman hayati melimpah yang didukung oleh adanya hutan alam di desa tersebut.

Penduduk desa Colo yang mayoritas beragama islam ini adalah masyarakat yang ramah.  Mereka memperlakukan tamu sebagai raja, terlebih posisi desa tidak jauh dari salah satu destinasi wisata religi yang banyak dikunjungi oleh masyarakat Jawa yaitu makam Sunan Muria.  

Desa Colo dan Sunan Muria menyimpan sejarah yang cukup panjang. Bagi masyarakat Colo, Sunan Muria adalah tokoh panutan yang ajaran-ajarannya masih mereka pegang dengan teguh dalam kehidupan sehari-hari.  

Sunan Muria yang bernama asli Raden Umar Said merupakan salah satu walisongo yang memiliki peran sangat penting dalam penyebaran agama islam di pulau  Jawa, khususnya di Gunung Muria, Jawa Tengah.

Beliau adalah salah satu putra dari Sunan Kalijaga. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Sunan Muria merupakan sosok yang cerdas, membumi dan memiliki kesaktian ilmu kanuragan.

Sifatnya yang membumi menyebabkan beliau memilih memusatkan perhatiannya  pada rakyat jelata. Sunan Muria lebih senang bergaul dan membaur bersama rakyat kecil dibandingkan tinggal di pusat kerajaan Demak sehingga metode dakwahnya  disebut dengan Topo Ngeli, yang berarti menghanyutkan diri di dalam masyarakat.

Beliau juga menciptakan  tembang Sinom dan Kinanti  yang dipergunakan sebagai media dakwahnya.

Sunan Muria tinggal di daerah terpencil di salah satu puncak Gunung Muria yaitu desa Colo. Dari nama gunung ini maka muncul gelar Sunan Muria tersebut.

Masyarakat Colo mempercayai apabila Gunung Muria mempunyai sebuah sejarah yang tidak terlepas dari Sunan Muria sendiri. Pada masyarakat Colo  ada mitos yang berkembang tentang asal muasal   Gunung Muria yang kaya akan sumber daya alam hayati terutama tanaman obat.

Konon ceritanya,  pada masa lalu di Desa Colo terdapat dua kelompok yaitu kelompok Islam yang dipimpin oleh Sunan Muria, serta kelompok Sam  Poo Kong yang merupakan kumpulan orang Cina.

Kedua kelompok tersebut selalu bertentangan dan bermusuhan satu sama lain.

Suatu hari Sunan Muria dan kelompok Sam Poo Kong melakukan perjanjian yang berisi jika dalam waktu semalam orang Cina bisa menjadikan Desa Colo menjadi sebuah lautan yang bisa digunakan untuk melewati kapal-kapalnya yang berisi ramuan-ramuan obat.

Pada perjanjian tersebut Sunan Muria mengatakan, jika sampai fajar tiba yaitu saat ayam mulai berkokok dan  lautan belum terbentuk di desa Colo, maka orang Cina harus segera angkat kaki. Kelompok Cina menyanggupi perjanjian tersebut.

Di lain sisi, pada malam itu juga Sunan Muria beserta murid-muridnya mulai menjalankan strateginya yaitu dengan sengaja mengadakan pertunjukan wayang yang bertujuan untuk mengelabui orang Cina agar tidak bekerja untuk membuat lautan.

Strategi Sunan Muria pun berhasil untuk mengelabui orang Cina yang terlena dengan pertunjukan wayang. Akhirnya mudah ditebak, saat ayam mulai berkokok dan pembuatan desa menjadi lautan belum selesai. Pada saat itu, dengan serta merta Sunan Muria menancapkan tongkatnya ke tanah, sehingga kapal yang memuat ramuan- ramuan obat tersebut akhirnya terbalik dan menjadi sebuah gunung yang diberi nama Gunung Muria.

Berawal dari sejarah itu masyarakat Colo mempercayai bahwa tumbuhan apa saja bisa tumbuh dengan subur dan mempunyai manfaat yang bisa digunakan sebagai obat.

Selama  proses dakwahnya, selain menyiarkan islam Sunan Muria juga  mengajarkan banyak keterampilan dan mewariskan pengetahuan kepada masyarakat Colo dan sekitarnya. Beliau juga mengajarkan keterampilan dalam hal bercocok tanam, melaut, berdagang dan bahkan juga pengobatan tradisional.

Warisan pengetahuan tentang pengobatan tradisional salah satunya dapat kita lihat dari bagaimana masyarakat Colo memanfaatkan sumber daya alam terutama tumbuhan yang ada di sekitarnya sebagai bahan obat tradisional.

Masyarakat Colo ketika merasa sakit, proses pengobatan pertama yang dilakukan yaitu dengan mencari dan memanfaatkan tumbuhan sebagai obat.

Masyarakat Colo memanfaatkan tumbuhan sebagai obat, selain karena adanya kepercayaan dan keyakinan yang dalam terhadap ajaran Sunan Muria , juga karena adanya beberapa faktor yaitu faktor lingkungan, sosial budaya dan faktor ekonomi.   

Mayoritas masyarakat Colo memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitar rumah, kebun dan sawah. Tumbuhan yang digunakan sesuai  dengan penyakit yang diderita.

Penulis mencatat lebih dari 100 spesies tanaman obat yang ada di Gunung Muria dimanfaatkan dan diolah sebagai obat serta untuk menjaga kesehatan tubuh.

Sebanyak 56 spesies dipergunakan untuk mengobati penyakit-penyakit yang terjadi pada anak-anak, 28 spesies dimanfaatkan untuk pengobatan dan perawatan pada masa pra dan pasca melahirkan, dan lebih dari 80 spesies untuk mengobati berbagai penyakit dalam.  

Pengetahuan tentang tanaman obat ini didapatkan secara turun temurun.
Sebagian besar tanaman obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Colo, selain ditanam di pekarangan rumah, kebun ataupun sawah juga masih bisa di temukan  di hutan Colo.

Hutan alam masih  menyimpan beragam sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional.

Sebagian  masyarakat Colo, terutama para pembuat jamu tradisional, masih membolang (mencari ke hutan dan berapa tempat asing) untuk mencari beberapa jenis tanaman obat terutama dari suku zingiberaceae - seperti kunyit, jahe, lengkuas, kencur, kunyit putih dan lain lain -  secara langsung dari hutan Colo.

Disisi lain, masyarakat Colo juga mempunyai pengetahuan tersendiri dalam pengambilan jumlah tumbuhan obat. Mereka  memilih jumlah bilangan ganjil dalam mengambil tumbuhan obat, seperti dimulai dari jumlah 1,3,5,7,9,11 dan seterusnya.

Pemilihan jumlah bilangan ganjil dihubungan dengan jumlah walisongo yang berjumlah  sembilan orang, dimana bilangan sembilan ini termasuk bilangan ganjil.

Pengambilan jumlah bilangan ganjil juga dihubungan dengan Tuhannya orang Islam yang hanya cuma satu yaitu Allah SWT, yang bermakna ketauhidan.  Begitu pula dengan kitab orang Islam juga satu yaitu Al-Quran, sebagai satu-satunya panduan hidup.  

Masyarakat Colo mempercayai jumlah bilangan ganjil dalam pengambilan tumbuhan obat memiliki arti yang baik dalam menyembuhkan suatu penyakit.  

Namun demikian, warisan pengetahuan tanaman obat dari Sunan Muria  yang paling populer bagi masyarakat Colo adalah tanaman parijoto. Bagi masyarakat Desa Colo, parijoto memang memiliki makna khusus.

Tanaman parijoto adalah tanaman yang sangat melekat dengan nama Sunan Muria. Menurut masyarakat setempat,  tanaman yang dipercaya bisa mengatasi masalah kesuburan bagi wanita ini adalah tanaman khas Gunung Muria.  

Sebenarnya ada  beberapa macam parijoto yang mampu tumbuh di daerah tersebut, tapi masyarakat Colo menyebutkan bahwa parijoto yang khas daerah tersebut memiliki buah dengan karakter ukuran lebih besar dari pada parijoto yang lain.

Kandungan fitokimia  dari parijoto antara lain terdiri dari kardenolin, saponin, flavonid (terutama pada buah) dan tanin (terutama pada daun). Hal ini menjadikan  parijoto sangat potensial dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat tradisional.

Dari sisi kandungannya parijoto bisa memiliki potensi untuk mengobati sariawan, diare atau pun kolesterol. Tetapi Nilai mitos dari masyarakat Desa Colo meyakini bahwa parijoto terutama buahnya sangat bermanfaat bagi wanita hamil yang ingin memiki keturunan yang berparas tampan atau cantik.

Mitosnya berasal dari cerita  istri Sunan Muria sedang hamil dan mengalami ngidam ingin memakan  buah yang rasanya asam. Sunan Muria beserta muridnya pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan yang rasanya asam, kemudian ditemukanya buah parijoto dan buah delima wulung yang warnanya hampir sama yaitu merah keungu-unguan.

Kedua buah buahan tersebut dibuat rujak secara bersamaan di acara tujuh bulanan. Semenjak istri Sunan Muria memakan buah parijoto dan delima wulung baik secara langsung maupun dibuat sebagai rujak, ketika anak dari Sunan Muria lahir yaitu seorang anak laki-laki yang sehat, gagah dan sholeh.

Sehingga tumbuhan delima wulung dan parijoto mempunyai mitos jika ibu hamil mengkonsumsi buah parijoto dan delima wulung jika anak laki-laki akan sempurna fisiknya. Sedangkan jika anak perempauan akan menjadi cantik dan molek.

Nilai mitos yang berkembang di masyarakat tersebut menyebabkan tumbuhan parijoto sangat popular seperti halnya tumbuhan khas lain yang ditemukan di wilayah desa Colo seperti pisang byar dan delima hitam.

Selain warisan pengetahuan tanaman obat, ada peninggalan sunan Muria berupa gentong yang diyakini oleh masyarakat sebagai gentong yang penuh karomah, sehingga gentong ini juga menjadi salah satu tujuan dari para peziarah makam Sunan Muria.

Masyarakat meyakini air yang selalu mengalir dalam gentong tersebut mampu mencegah dan menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Selain itu, air yang bersumber dari pegunungan Muria tersebut juga dipercaya mampu untuk membersihkan atau mensucikan hati dan bermanfaat untuk meningkatkan kecerdasan pada anak anak.

Sangat menarik menurut penulis, sebagai seorang wali, Sunan Muria sudah berhasil menapakkan jejak pengetahuan lain yang tidak kalah penting dari nilai-nilai keislaman yang diwariskan pada semua pengikut dan keturunannya.

 

Penulis: Baiq Farhatul Wahidah
(Dosen Etnobotani Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang)

Editor : Sulhanudin Attar

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network