SEMARANG. iNewsSemarang.id - Bagi anda yang menjalankan puasa Ramadhan, tentu mengetahui Surat al-Baqarah ayat 183. Ya, ayat itulah yang menjadi dasar kita diwajibkan berpuasa sebagaimana umat-umat terdahulu sebelum nabi Muhammad SAW.
Kontinuitas kewajiban ini menandakan bahwa puasa adalah ibadah yang memiliki makna sangat penting, baik bagi manusia maupun yang lain. Tujuan dari puasa pada surat itu pun jelas: menjadi orang yang bertaqwa. Dengan begitu, ketaqwaan adalah buah dari ibadah puasa.
Atau untuk memperoleh ketaqwaan maka berpuasalah. Hampir para jamaah di berbagai surau, mushola, dan masjid memahami betul kerangka berpikir seperti ini, karena memang setiap kali kultum selalu disampaikan. Akan tetapi bagaimana menggeser pemahaman taqwa ke dalam dimensi lain layak dielaborasi lebih lanjut.
Kita mengetahui bahwa kata taqwa dalam al-Qur’an disebut terulang sebanyak 259 kali dengan makna yang beragam. Ini menunjukkan bahwa taqwa memiliki pengertian dan dimensi yang bermacam-macam, bergantung konteks yang dipersandingkan.
Dalam Surat al-Baqarah 183, kata taqwa disandingkan dengan ibadah berpuasa. Ini berarti taqwa erat kaitannya dengan tujuan terdalam dari ibadah puasa itu sendiri. Oleh karenanya, ketaqwaan seperti apa yang diharapkan dari berpuasa itu, dan kenapa mencapainya mesti harus ditempuh dengan berpuasa. Untuk sampai pada tujuan terdalam itu, maka memahami dimensi-dimensi puasa mutlak diperlukan.
Dari dimensi puasa, kita pun tahu, bahwa puasa memiliki setidaknya empat dimensi, yakni ritual, spiritual, social, dan ecological. Untuk dimensi pertama sampai ketiga, kita telah sering memperoleh penjelasan yang gamblang dari para mubaligh, baik di mimbar maupun di layar televisi, atau mungkin dari broadcast grup WhatsApp yang sering mampir karena pesan terusan. Tetapi untuk dimensi terakhir, yakni dimensi ekologis, rasanya masih perlu untuk dielaborasi lebih lanjut. Dari dimensi ekologis puasa maka pada akhirnya akan menghasilkan ketaqwaan ekologis.
Memahami dimensi ekologis puasa, tentu kita harus melihat dimensi-dimensi sebelumnya. Dari dimensi ritual puasa misalnya, kita mengetahui bahwa puasa adalah menahan diri dari makanan, minum, hubungan seksual, dan segala yang membatalkan, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Ritual menahan dari makan dan minum jika kita lihat dari perspektif ekologi, tentu tidak hanya memiliki makna ritual saja, melainkan suatu “sistem pengendalian” atas proses produksi dan konsumsi manusia sebagai homo economicus. Tidak dipungkiri, sebagai makhluk hidup, manusia jelas membutuhkan makan dan minum.
Dalam pikiran hierarchy of needs, Abraham Maslow (1943) memperkenalkan lima tingkat kebutuhan dasar manusia, mulai dari kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan adalah sama artinya dengan hasrat. Pada hasrat fisiologis inilah manusia banyak melakukan aktivitas ekonomi: butuh makan, butuh minum, butuh pakaian, butuh tempat tinggal, butuh kendaraan, butuh sejahtera, dan seterusnya. Dari situlah melahirkan mekanisme produksi, konsumsi dan distribusi. Mekanisme ini bukannya tanpa dampak. Ya, sisi gelap dari mekanisme ini adalah berkurangnya sumberdaya alam dan sekaligus memunculkan limbah.
Untuk mengoptik lebih jelas terkait proses produksi dan konsumsi manusia dalam kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan, maka kita bisa belajar dari teori Life Cycle Assessment (LCA), yakni penilaian siklus hidup untuk menilai dampak lingkungan yang terkait dengan semua tahapan siklus hidup suatu produk, mulai dari proses produksi hingga layanan komersial.
Dari LCA ini kita menjadi tahu bahwa satu piring nasi, lauk pauk, dan minuman yang kita konsumsi tidak sekedar satu piring nasi, lauk pauk, dan minuman. Untuk menghasilkan satu piring nasi lengkap tersebut membutuhkan sumberdaya lain seperti energi, bahan baku, dan lain sebagainya. Dari masing-masing sumberdaya yang dipergunakan tersebut pun memiliki daur hidup masing-masing.
Dan satu hal yang pasti: dari masing-masing daur hidup tersebut pasti menghasilkan limbah dan berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Berapa banyak sumber daya yang diekstraksi, berapa banyak energi yang dibutuhkan, berapa limbah yang dihasilkan, dan berapa persen kontribusinya pada pemanasan global dan perubahan iklim adalah angka-angka yang seringkali terabaikan, atau diabaikan, oleh manusia.
Ini bukan hanya semata-mata soal angka. Melainkan soal pilihan hidup bertanggung jawab terhadap lingkungan. Apalagi dalam kehidupan normal, kita tidak hanya mengkonsumsi sepiring nasi, tetapi juga makanan-makanan lain, utamanya makanan ringan, yang daur hidupnya sama-sama memberi dampak pada lingkungan.
Thomas Robert Malthus, yang pemikirannya disebut Malthusian, pada abad ke-18 pernah mengungkapkan bahwa seiring dengan bertambahnya penduduk, maka sejatinya kebutuhan akan produksi dan konsumsi akan terus meningkat, dan dengan demikian maka lingkungan juga sebenarnya terus dalam ancaman. Apalagi pertumbuhan penduduk dunia terus meningkat, maka sulit dipungkiri juga bahwa kebutuhan atas produksi dan konsumsi akan terus meningkat. Pada akhirnya, ekstraksi sumberdaya alam semakin banyak, dan limbah yang dihasilkan juga semakin banyak.
Asumsi ini bukannya tak berdasar. Akar kekacauan pada keseimbangan lingkungan adalah pola konsumsi yang melampaui batas dan menguras sumber daya alam.
The Great Disruption karya Francis Fukuyama (2016) telah mewanti-wanti kita, bahwa akar kerusakan di bumi bersumber dari empat hal: kemiskinan yang meningkat, kekayaan yang meningkat, kemerosotan nilai-nilai kultural dan religius, meningkatnya egoisme atau kepuasaan individualistis di atas kewajiban komunal.
Dari uraian sederhana itu kita menjadi tahu. Kita perlu “sistem pengendalian” atas egoisme manusia, keserakahan manusia, dan sifat konsumtif manusia. Puasa, yang merupakan “menahan diri dari makan dan minum serta yang membatalkan puasa mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari” adalah salah salah satu sistem religi yang dapat berperan sebagai pengendali egoisme manusia, utamanya pola produksi dan konsumsi atas sumberdaya.
Kita mesti memperluas pemahaman taqwa, tidak hanya sekedar ketakwaan secara ritual, tetapi juga ketaqwaan ekologis. Apalagi kata taqwa dalam al-Qur’an disebut sebanyak 259 kali dengan makna yang beragam, bergantung konteks yang dipersandingkannya. Karena pada Surat al-Baqarah 183, kata taqwa disandingkan dengan ibadah berpuasa, maka kita bisa menjangkau pemahaman yang lebih luas tentang dimensi ekologis dari puasa itu sendiri, sehingga makna takwa juga mengikuti dimensi yang dipersandingkan tersebut.
Pemahaman semacam ini bukan bermaksud menggeser pemahaman lama bahwa puasa adalah wujud trandensi dari ritual seorang hamba kepada Tuhannya, tetapi justru melengkapinya agar makna puasa dan tujuan terdalam dari puasa dapat dicapai oleh manusia.
Dengan demikian, makna puasa tidak hanya menyangkut urusan ritual, spiritual, dan social, tetapi juga menyangkut dimensi lain, yakni dimensi ekologis. Manifestasinya adalah dengan berpuasa kita harus sadar kembali betapa pentingnya menahan diri dari hasrat kegilaan manusia, gaya hidup konsumtif yang berlebihan, dan boros. Puasa menata secara teratur aliran hasrat, dimulai dari dalam (hati), dan kemudian melahirkan pribadi muslim yang bertaqwa, tidak hanya taqwa secara ritual, tetapi juga taqwa secara ekologis.
Mari kita bertanya pada diri kita sendiri. Apakah puasa kita telah benar-benar mengurangi jumlah konsumsi kita?, atau hanya sekedar mengubah waktu makan dari siang hari ke malam hari, tetapi jumlah makanan yang dikonsumsi tetap sama, atau bahkan lebih banyak?
Saya pernah melihat status WhatsApp ibu-ibu di kompleks saya: “Jarene puasa, tapi kok sing dituku lewih akeh, puasa kok malah pengeluarane dadi nambah” (Katanya berpuasa, tetapi ternyata belanja yang dibeli lebih banyak, puasa ternyata malah menyebabkan pengeluarannya bertambah). Semoga itu hanyalah status WhatsApp, tidak lebih, dan kita semua setelah berpuasa memperoleh ketaqwaan yang sempurna.
Penulis: Dr. Rusmadi, M.Si, Sekretaris Prodi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang/ Pengurus Pusat Asosiasi Ahli Lingkungan Hidup Indonesia.
Serial artikel Sains Ramadhan merupakan kerjasama iNewsSemarang.id dengan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang.
Editor : Miftahul Arief
Artikel Terkait