Opini oleh: Ahmad Baedowi, Pengurus Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU DKI Jakarta.
Seperti kita ketahui bersama sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama tidak bisa terlepas dari situasi sosial dan politik dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, Bangsa Indonesia yang masih dalam kungkungan kolonialisme Belanda yang sangat menyengsarakan rakyat. Sedangkan faktor luar negeri adanya berita penyebarluasa faham Wahabi di Hijaz dan juga akan dilakukan pembongkaran makam Rasulullah Muhammad SAW di Madinah.
Ketika Jatuhnya Hijaz ke tangan kelompok Wahabi dan klan Ibnu Sa’ud pada tahun 1925 tidak hanya berimbas kepada adanya perubahan struktur pemerintahan, akan tetapi merombak total faham dan praktik-praktik keagamaan. Di Hijaz dari yang semula berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah berubah menjadi faham Wahabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlawan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Sampai-sampai makam Rasulullah Saw, para sahabat dan tempat-tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai biang atau tempatnya kemusyrikan.
Peran dan kontribusi Nahdlatul Ulama dalam membela dan memperjuangkan kemerdekaan serta berkembang dan syiarnya Islam yang berpaham ahlussunnah wal jamaah tidak disangsikan lagi. Hal itu dilakukan NU sebagai bagian dari perjuangan dalam membela agama dan Negara serta menjalankan amanah diniyah dan wathaniyah.
Nahdlatul Ulama yang dikenal banyak orang sebagai organisasi tradisionalis, kaum sarungan, kaum desa yang dianggap tidak mengerti permasalahan global, namun ternyata dalam sejarahnya mampu membuktikan dengan melakukan delegasi internasional. Dalam teori hubungan internasional NU telah atau merupakan actor Multi Track Diplomacy (MTD) atau non government or Peacemaking through Conflict Resolution. NU merupakan aktor bukan negara yang melakukan delegasi dan negosiasi untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat dunia. Dalam hal ini kebebasan dalam bermadzhab dan juga pelestarian situs-situs sejarah penting umat Islam dunia.
Editor : Miftahul Arief