Sejarah mencatat bahwa Nahdlatul Ulama (NU) mengirimkan delegasi yang bernama Komite Hijaz yang mempunyai misi meredakan kerisaun umat Islam dunia akan berkembangnya paham Wahabi yang dihembuskan dan disebarluaskan oleh kelompok Wahabi dan klan Ibnu Sa’ud. Ketika aliran Wahabi berkembang dan menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz (Mekkah dan Madinah), hal ini menimbulkan dampak dan gejolak yang luar biasa. Termasuk dalam persebaran paham Salafi-Wahabi ke seluruh pelosok dunia. Dengan perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam yang berfaham Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz, yang ingin menerapkan hanya madzhab Wahabi.
Ulama-ulama Nusantara yang berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dimotori oleh KH Wahab Chasbullah berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci tersebut. Dari pertemuan itu lahirlah panitia Komite Hijaz. Yang diberi mandat untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia.
Dikarenakan pada saat itu belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, Ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia berkumpul dan membentuk organisasi Induk. Organisasi ini diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama), kemudian disingkat NU, dengan Rois Akbar Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Pada perkembangan selanjutnya dibentuk delegasi Komite Hijaz NU untuk menemui raja Ibnu Sa’ud, dengan keanggotaan sebagai berikut: Sebagai penasehat KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masyhuri Lasem, KH. Kholil Lasem. Yang ditunjuk sebagai ketua adalah KH. Hasan Gipo, dan Wakil Ketua: H. Shaleh Syamil. Sebagai sekretaris adalah Muhammad Shadiq, dan sebagai pembantu umum adalah KH. Abdul Chalim.
Diantara ajuan diplomasi yang disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa’ud adalah: Pertama, meminta kepada raja Ibnu Sa’ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Kedua, Meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid. Ketiga, Mohon disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji, mengenai biaya naik haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh. Keempat Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut dan Kelima Jam’iyyah Nahdlatul Ulama mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan masukan-masukan NU tersebut.
Editor : Miftahul Arief