JAKARTA, iNewsSemarang.id – Operasi militer yang dilakukan pasukan yang dipimpin Sintong Panjaitan dan RPKAD, menarik diulas. Operasi militer mereka menjadi bagian penting dari upaya menggagalkan rencana PKI untuk mengubah Indonesia menjadi negara komunis.
Mengingat tragedy berdarah Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) meninggalkan kekosongan di jajaran pimpinan Angkatan Darat (AD).
Hal itu membuat peta militer di Indonesia berubah. Pada saat itu, Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan sejumlah jenderal senior lainnya diculik dan dibunuh, lalu jenazah mereka dibuang ke Lubang Buaya. Pagi setelah tragedi itu, pada 1 Oktober 1965, dilaksanakan rapat di Markas Kostrad, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan tersebut, disepakati Mayjen TNI Soeharto mengambil alih sementara komando Angkatan Darat. Pukul 11.00 WIB, Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), bergerak menuju Kostrad dengan panser.
Dalam buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Prajurit Para Komando, Hendro Subroto menceritakan langkah pertama Sarwo Edhie setelah berkoordinasi dengan Soeharto adalah merencanakan operasi merebut kembali Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat.
Selanjutnya Kantor Besar Telekomunikasi yang dikuasai PKI. Pada siang hari, Sintong Panjaitan, yang saat itu menjadi Komandan Peleton 1 Kompi Tanjung, diberi tugas menjaga Markas Kostrad tersebut. Sarwo Edhie memberikan perintah melalui Mayor CI Santoso kepada Lettu Inf Feisal Tanjung, yang kemudian diteruskan kepada Sintong Panjaitan.
Tugas Sintong adalah merebut RRI dari tangan PKI dalam waktu sesingkat-singkatnya. “Tong, kamu rebut RRI. Tutup mulut mereka yang mendukung Dewan Revolusi, kuasai secepatnya dan laporkan ke saya di Makostrad,” kata Feisal Tanjung kepada Sintong.
Saat itu, PKI telah menguasai RRI dan menggunakan stasiun radio ini untuk menyebarkan propaganda serta mengumumkan Dekrit Nomor 1 tentang pembentukan Dewan Revolusi Indonesia di bawah pimpinan Letkol Untung.
Dekrit ini menjadi alat utama PKI untuk menyebarkan pesan kudeta mereka. Sintong memimpin peletonnya bergerak menuju RRI melalui Lapangan Silang Monas. Pasukan RPKAD berjalan kaki di belakang Peleton 1 Kompi Ben Hur. Saat itu dia ditugasi merebut Kantor Besar Telekomunikasi.
Ketika pasukan Sintong mendekati gedung RRI, salah satu anggota peleton menembakkan tiga peluru dari senapan AK-47, membuat para penjaga PKI di sana kabur tanpa perlawanan.
Penyerbuan berlangsung cepat dan mulus. Pasukan RPKAD berhasil mengambil alih RRI, menangkap kru radio serta beberapa orang yang terlibat. Sintong kemudian melapor kepada Feisal Tanjung di Markas Kostrad.
Namun, laporan ini sempat membuat Kolonel Sarwo Edhie marah. “Apa? RRI sudah diduduki? Coba kamu periksa lagi semua ruangan!” kata Sarwo Edhie. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata ada tape recorder yang masih menyala, menyiarkan propaganda PKI.
Hampir saja Sintong menghancurkan alat tersebut, namun seorang pegawai RRI menghentikannya dan mematikan tape recorder secara manual. Peristiwa ini kemudian menjadi bahan lelucon di kalangan para perwira RPKAD yang datang ke RRI. Sintong bahkan mendapat olok-olok dari Sarwo Edhie yang berkata, “Ah, kau orang kampung!”
Upaya kudeta yang dilakukan PKI dengan menculik dan membunuh para pimpinan Angkatan Darat adalah bagian dari rencana besar mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. PKI, yang menjadi salah satu pemenang Pemilu 1955, berusaha merebut kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk mendorong pembentukan Angkatan Kelima, yaitu mempersenjatai buruh dan petani.
Usulan ini ditentang keras oleh Jenderal Ahmad Yani dan para jenderal Angkatan Darat lainnya. Namun, sejarah mencatat bahwa kudeta PKI ini berakhir dengan kegagalan. Pada 12 Maret 1966, Presiden Soeharto secara resmi membubarkan PKI. Bahkan dia menyebut sebagai organisasi terlarang di seluruh Indonesia.
Editor : Ahmad Antoni