JAKARTA, iNewsSemarang.id - Terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat, Kuat Ma'ruf bisa bebas dari jeratan hukum apabila dakwaannya tak terbukti di persidangan. Hal itu disampaikan oleh Ahli Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Muhammad Arif di persidangan, Senin (2/1/2023).
Berikut sejumlah fakta terkait peluang Kuat Maruf bisa bebas dari kasus pembunuhan Brigadir J:
1. Jika Dakwaan Tidak Terbukti
"Jika uraian dakwaan tidak terbukti dalam persidangan, konsekuensinya apa terhadap terdakwa?" tanya pengacara Kuat di persidangan.
"Kalau dakwaan tidak terbukti ya konsekuensinya kalau kita lihat KUHAP ya bebas, dakwaan tidak terbukti loh," ujar Muhmmad Arif menjawab pertanyaan pengacara.
2. Poligraf Tidak Bisa Jadi Alat Bukti
Arif menjelaskan tentang persoalan Poligraf, yang mana Poligraf sejatinya tak termasuk dalam alat bukti sah sebagaimana diatur pada pasal 184 KUHAP.
Poligraf yang diatur oleh Perkap Kapolri sejatinya berupa instrumen untuk kebutuhan penyidikan belaka agar penyidik bisa lebih memahami perkara yang sedang dihadapinya berkaitan pemeriksaan para saksi dan tersangka.
"Apakah keterangan yang diberikan para saksi itu punya konsistensi tertentu, yang disebut tadi ada kebohongan atau tidak, itu kan hanya instrumen di dalam pemeriksaan, tetapi ahli memahami itu bukan salah satu alat bukti," tuturnya.
3. Harus Ada Alat Bukti
Kuasa Hukum Kuat sempat bertanya kepada ahli tentang bisa tidaknya seseorang ditetapkan sebagai terdakwa tanpa ada keterangan dan alat bukti lainnya.
"Dalam hukum pidana kita dikenal asas asas unus testis nullus testis, jika keterangan saksi hanya berdiri sendiri tanpa dukungan alat bukti lainnya, maka tidak memiliki kekuatan pembuktian. Apakah setiap unsur, wajib dibuktikan berdasarkan 2 alat bukti? Atau secara keseluruhan rumusan delik itu wajib dibuktikan dengan alat bukti?" tanya kuasa hukum kepada saksi.
"Jadi begini, kalau yang dibuktikan itu kan kalau tadi ada dua tahap pembuktian, satu pembuktian perbuatan kriminalnya dan kedua tentang pertanggungjawaban. Maka kedua-duanya itu harus dibuktikan. Tapi kalau menurut aliran dualisme, itu bisa bertahap membuktikannya, perbuatan pidananya dulu dibuktikan, kalau membuktikan pidananya kan berarti membuktikan semua unsur dalam delik yang didakwakan," jawab Muhammad Arif Setiawan.
Menurutnya, apabila persyaratan tersebut bisa dibuktikan sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHP, maka seseorang bisa saja ditetapkan sebagai terdakwa. Akan tetapi, jika hal itu tidak bisa dibuktikan, maka hakim tidak bisa membuat keputusan untuk mempidanakan seseorang tersebut.
"Kalau persyaratan pembuktian, kalau kita lihat dalam ketentuan Pasal 183 KUHP itu kan didahulukan dengan frasa ‘hakim tidak boleh membuat keputusan pemidanaan’. Jadi dasarnya tidak boleh dulu, baru ada pengecualian, kecuali berdasarkan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah. Hakim kemudian memperoleh keyakinan, bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan," katanya.
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait