Selang sebulan kemudian, sesuai kesepakatan di awal, proses sertifikasi senilai Rp25 juta menjadi tanggung jawab antara penjual dan pembeli. M selaku penjual dan Niswati selaku pembeli masing-masing dibebani Rp12,5juta. Sedang untuk pengurusannya dilakukan seorang pengacara berinisial S.
Namun kejadian yang dirasa aneh kembali terjadi. Pengacara yang akan membantu pembuatan sertifikat menghubunginya lagi dan meminta uang tambahan. Jumlah totalnya mencapai Rp34 juta dari jumlah perjanjian semula yang hanya Rp25 juta.
Niswati pun mengaku sempat menolak dan ingin meminta kembali uang patungan pembuatan sertifikat yang sudah diberikan serta meminta surat Letter C-nya saja. Alasannya, biaya pengurusan sertifikat tidak sesuai kesepakatan di awal dan dirinya merasa keberatan.
Niswati selanjutnya ingin mengikutsertakan lahan yang dibelinya dalam program sertifikasi massal (PTSL).
Namun, permintaannya ditolak oleh pengacara tersebut, dengan dalih proses pengurusan sertifikat sudah berjalan. Dari kejadian ini, Niswati semakin curiga dengan proses sertifikasi lahannya tersebut. Diapun bergegas ke Balaidesa Lebosari untuk mencari informasi terkait lahannya.
"Lah di balaidesa ini akhirnya saya mendapatkan informasi jika sawah yang sudah saya beli itu ternyata dalam sengketa keluarga. Karena itu, dari pihak desa tidak berani mengeluarkan surat apapun," ungkapnya.
Niswati shok mendengar kabar itu. Kecurigaannya mulai mendapatkan jawaban.
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait