JAKARTA, iNewsSemarang.id - Hukum membayar utang puasa ramadhan wajib diketahui oleh umat Islam. Pasalnya, tak sedikit yang menunda-nunda untuk membayar utang puasa sehingga tiba ramadhan berikutnya karena tidak mengetahui larangan yang telah ditetapkan.
Apabila seseorang menunda-nunda qadha puasa Ramadan dengan tanpa udzur, maka dia wajib bertaubat dari dosa tersebut, menyesalinya dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kemudian dia melaksanakan qadha’ sesuai jumlah puasa yang kita tinggalkan dengan tanpa ada denda apapun.
Mengapa syariat melarang menunda qadha puasa Ramadan ? Ustaz Fadly Gugul S.Ag menjelaskan, sengaja menunda-nunda utang puasa sampai datang Ramadan berikutnya, sangat dilarang keras. Karena hal ini merupakan dosa yang sangat buruk.
"Karena di antara ciri orang yang beriman ialah mereka ini bersegera didalam melaksanakan kebaikan dan kewajiban agama,"ungkap dai yang berkhidmat di lembaga bimbingan Islam ini. Allah ta’ala berfirman :
أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”. (QS. Al-Mukminun : 61). Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha berkata :
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ “
“Dulu saya pernah memiliki hutang puasa Ramadhan. Namun saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan sya’ban”. (HR. Bukhari, no.1950, Muslim, no. 1146).
Menurut Ustaz Fadly, riwayat ini menerangkan kepada kita bahwa batas akhir mengqadha’ puasa Ramadan ialah hingga akhir syaban sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun jika mengakhirkan qadha’ puasa hingga datang Ramadan setelahnya dikarenakan adanya udzur syar’i maka tidak mengapa dan tidak ada dosa bagi dia ketika itu.
Adapun bagi orang yang mengakhirkan qadha’ puasa Ramadan hingga datang Ramadan berikutnya tanpa ada udzur, maka para ulama berselisih pendapat tentang cara menggantinya menjadi dua pendapat :
1. Wajib bagi dia bertaubat lalu mengqadha’ sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan, kemudian membayar kafarat/denda berupa memberi makan fakir miskin sejumlah hari yang ia akhirkan qadha’nya.
Di antara dalilnya ialah riwayat sebagai berikut :
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata kepada seorang lelaki yang sakit di bulan Ramadhan. Kemudian sembuh namun tidak puasa hingga datang Ramadhan berikutnya. Abu Hurairah berkata kepada lelaki ini ; ‘Ia berpuasa hari yang ia temui di Ramadhan itu, dan memberi makan dari awal setiap hari satu mud berupa gandum untuk setiap orang miskin. Apabila ia telah selesai dari hal ini, baru ia membayar hutang puasanya”. (HR Ad-Daruquthni : 2/421).
2. Wajib bagi dia bertaubat dan mengqadha’ sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan dengan tanpa denda apapun.
"Kami condong pada pendapat yang kedua ini, karena tidak ada riwayat dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk membayar kaffarah dalam permasalahan ini,"ungkap Ustaz Fadly. Maka dari itu Syaikh Al-Albani rahimahullah ketika ditanya tentang kewajiban kaffarah bagi orang yang menunda qadha’ hingga datang Ramadhan berikutnya, beliau menjawab :
هناك قول، ولكن ليس هناك حديث مرفوع
Ada yang berpendapat demikian, namun tidak ada hadis marfu’ di sana yang melandasinya. (Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Muyassarah : 3/327).
"Karena itu orang yang menunda qadha’ hingga datang Ramadan berikutnya, ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala, berjanji tidak akan mengulanginya kembali, kemudian mengganti puasa di hari yang lain dengan tanpa tambahan kaffarah. Namun jika ia menginginkan membayar kaffarah, maka itu baik dan lebih sempurna dan sifatnya sunnah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian para sahabat,"pungkasnya. (Arni Sulistiyowati)
Editor : Maulana Salman
Artikel Terkait