Pada tahun-tahun pertama penerapan UU Desa dan turunanya, tak jarang para pendamping mengalami intimidasi dari para oknum Pemdes sisa Orde Baru yang masih menerapkan model lama. Pada tahun kedua, gap permasalahan terjadi dalam tataran teknis. Tuntutan penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam pemenuhan dokumen dan pelaporan menjadi kendala karena sebagian aparatur pemdes masih diduduki generasi tua yang belum menguasai perangkat yang diperlukan.
Waktu terus berjalan, peningkatan kapasitas tiap tahunnya dianggarkan dan sampailah kini di mana desa telah mengalami banyak perubahan. Aparatur Pemdes kini telah diisi tenaga muda yang melek TIK. Pemahaman tentang tata kelola Pemdes pun mengalami peningkatan. Dampaknya, masyarakat lebih terberdayakan dalam kegiatan dan bahkan ikut terlibat mengawasi jalannya pemerintahan di desa. Lembaga-lembaga desa pun berfungsi.
Berdasarkan data Indeks Desa Membangun (IDM) yang bisa diakses oleh siapapun melalui aplikasi, banyak desa yang awalnya bersetatus berkembang, telah meningkat menjadi maju dan mandiri. Keadaan demikian tak berarti desa tak membutuhkan lagi pendampingan. Seiring meningkatnya kapasitas Pemdes dan para pelaku desa, justru tuntutan dan tugas pendampingan oleh TPP juga mengalami peningkatan.
Optimalisasi BUMDes untuk mengangkat perekonomian masyarakat desa dalam praktiknya butuh pendampingan yang berkelanjutan. Ditambah arah baru percepatan pencapaian 18 tujuan SDGs Desa, desa masih perlu pendampingan. Kompleksitas masalah di desa bisa mengakibatkan kemandekan, bahkan kemunduran. Oleh karena itu, pendampingan tetap diperlukan dengan tuntuan yang lebih berat untuk sampai kepada tujuan dari SDGs Desa.
Di lain pihak, Kemendes dan PDTT melalui jajaranya terus berusaha meningkatkan kualitas TPP di semua level. TPP diperintahkan untuk terus meningkatkan kapasitas dan kualitas pekerjannya untuk mempercepat tercapainya 18 tujuan SDGs Desa.
Editor : Sulhanudin Attar