Ibu dari Zinedine Alam Ganjar itu mengatakan, ketika makan bersama tersebut komunikasi bisa terjalin. Orangtua secara proaktif menanyakan kondisi sang anak.
“Di situ kita bisa mengidentifikasi apakah anak kita ada masalah di sekolahan, kemudian komunikasi dengan anak juga bisa dibentuk di situ,” ujarnya.
Cucu dari kiai Hisyam Kalijaran menuturkan dari situ kemudian orang tua bisa mengidentifikasi jika sang anak sedang menghadapi masalah. Entah itu bullying atau yang terkait dengan pendidikannya. “Itu bisa teridentifikasi dari awal. Jadi orangtua bisa treatment-nya dilakukan sejak dini,” tegasnya.
Atikoh mengatakan, kegiatan makan bersama harus diupayakan minimal sehari sekali. Ini tentu kendala yang dihadapi bagi keluarga dengan orangtua pekerja. Hal itu juga diterapkan Atikoh di keluarganya.
“Dari (anak masih) kecil berusaha seperti itu, tapi karena aktivitas masing-masing minimal malam hari, kita (makan) bareng-bareng,” ujarnya.
Tradisi makan bersama ini juga terus dilanjutkan walau sang anak, Alam, kini tengah menempuh studi di Yogyakarta. Minimal, kata Atikoh, setiap akhir pekan ketiganya makan bersama.
“Kita jadi tahu di situ sosialisasi anak di sekolah seperti apa, lingkungannya seperti apa, istilahnya soft skill anak kita seperti apa. Jadi makan di meja makan tidak hanya terkait dengan gizi tapi juga pembentukan karakter,” ujarnya.
Editor : Maulana Salman