"Jurnalis adalah pilar keempat dari demokrasi, sehingga apabila aparat kepolisian, negara, berani melakukan tindakan-tindakan represif, intimidatif, tandanya demokrasi kita sedang di terancam," kata Dhika.
"Itu tandanya demokrasi kita sedang di bawah bawah bayang-bayang otoriter. Di bawah bayang-bayang rezim militeristik," ujarnya.
Adapun, kekerasan ini tak hanya mengancam jurnalis, tetapi juga angggota pers mahasiswa. Salah satu mahasiswa anggota LPM Justisia, UIN Walisongo, Dimas juga turut menceritakan pengalamannya didatangi anggota TNI saat diskusi di kampus.
"Jadi beberapa hari lalu teman-teman saya mengadakan diskusi tentang militerisme. Dan ada orang yang tidak dikenal masuk ke dalam forum tersebut," kata Dimas dalam orasinya.
Ia menyinggung pria berseragam TNI yang mendatangi kampus UIN untuk menanyakan identitas peserta disikusi 'Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik', Senin (14/5/2025) lalu.
Dimas mengungkapkan, salah satu anggota LPM Justisia mendapat teror dari orang tak dikenal usai berita soal kejadian tersebut diunggah di portal LPM. Ia ditanya siapa penulis berita tersebut.
"Malamnya setelah LPM yang saya ikuti itu membuat berita, malamnya diteror. Besok siangnya dichat, ditelepon sama orang yang dikenal," terangnya.
"Diancam kalau enggak ngaku, kan dia nanya siapa penulisnya, siapa ketuanya. Kalau enggak ngasih tahu katanya saya bakal ke kampus," ujarnya.
Aksi berlangsung hingga pukul 18.30 WIB di Mapolda Jateng. Aksi ditutup dengan pembacaan tuntutan aksi oleh Sekretaris Jenderal AJI Semarang, Iwan Arifianto. Tuntutan aksi tersebut, di antaranya:
1. Pecat Aparat Pelaku Kekerasan Terhadap Jurnalis
2. Ciptakan Ruang Aman untuk Jurnalis
3. Aparat Harus Patuh dengan Undang-undang Pers
4. Kapolri Bertanggungjawab kepada anggota yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis
5. Meminta Perusahaan Media Melindungi Jurnalis Korban Kekerasan.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait