Memahami dimensi ekologis puasa, tentu kita harus melihat dimensi-dimensi sebelumnya. Dari dimensi ritual puasa misalnya, kita mengetahui bahwa puasa adalah menahan diri dari makanan, minum, hubungan seksual, dan segala yang membatalkan, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Ritual menahan dari makan dan minum jika kita lihat dari perspektif ekologi, tentu tidak hanya memiliki makna ritual saja, melainkan suatu “sistem pengendalian” atas proses produksi dan konsumsi manusia sebagai homo economicus. Tidak dipungkiri, sebagai makhluk hidup, manusia jelas membutuhkan makan dan minum.
Dalam pikiran hierarchy of needs, Abraham Maslow (1943) memperkenalkan lima tingkat kebutuhan dasar manusia, mulai dari kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan adalah sama artinya dengan hasrat. Pada hasrat fisiologis inilah manusia banyak melakukan aktivitas ekonomi: butuh makan, butuh minum, butuh pakaian, butuh tempat tinggal, butuh kendaraan, butuh sejahtera, dan seterusnya. Dari situlah melahirkan mekanisme produksi, konsumsi dan distribusi. Mekanisme ini bukannya tanpa dampak. Ya, sisi gelap dari mekanisme ini adalah berkurangnya sumberdaya alam dan sekaligus memunculkan limbah.
Untuk mengoptik lebih jelas terkait proses produksi dan konsumsi manusia dalam kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan, maka kita bisa belajar dari teori Life Cycle Assessment (LCA), yakni penilaian siklus hidup untuk menilai dampak lingkungan yang terkait dengan semua tahapan siklus hidup suatu produk, mulai dari proses produksi hingga layanan komersial.
Editor : Miftahul Arief
Artikel Terkait