Suatu hari Sunan Muria dan kelompok Sam Poo Kong melakukan perjanjian yang berisi jika dalam waktu semalam orang Cina bisa menjadikan Desa Colo menjadi sebuah lautan yang bisa digunakan untuk melewati kapal-kapalnya yang berisi ramuan-ramuan obat.
Pada perjanjian tersebut Sunan Muria mengatakan, jika sampai fajar tiba yaitu saat ayam mulai berkokok dan lautan belum terbentuk di desa Colo, maka orang Cina harus segera angkat kaki. Kelompok Cina menyanggupi perjanjian tersebut.
Di lain sisi, pada malam itu juga Sunan Muria beserta murid-muridnya mulai menjalankan strateginya yaitu dengan sengaja mengadakan pertunjukan wayang yang bertujuan untuk mengelabui orang Cina agar tidak bekerja untuk membuat lautan.
Strategi Sunan Muria pun berhasil untuk mengelabui orang Cina yang terlena dengan pertunjukan wayang. Akhirnya mudah ditebak, saat ayam mulai berkokok dan pembuatan desa menjadi lautan belum selesai. Pada saat itu, dengan serta merta Sunan Muria menancapkan tongkatnya ke tanah, sehingga kapal yang memuat ramuan- ramuan obat tersebut akhirnya terbalik dan menjadi sebuah gunung yang diberi nama Gunung Muria.
Berawal dari sejarah itu masyarakat Colo mempercayai bahwa tumbuhan apa saja bisa tumbuh dengan subur dan mempunyai manfaat yang bisa digunakan sebagai obat.
Selama proses dakwahnya, selain menyiarkan islam Sunan Muria juga mengajarkan banyak keterampilan dan mewariskan pengetahuan kepada masyarakat Colo dan sekitarnya. Beliau juga mengajarkan keterampilan dalam hal bercocok tanam, melaut, berdagang dan bahkan juga pengobatan tradisional.
Warisan pengetahuan tentang pengobatan tradisional salah satunya dapat kita lihat dari bagaimana masyarakat Colo memanfaatkan sumber daya alam terutama tumbuhan yang ada di sekitarnya sebagai bahan obat tradisional.
Masyarakat Colo ketika merasa sakit, proses pengobatan pertama yang dilakukan yaitu dengan mencari dan memanfaatkan tumbuhan sebagai obat.
Masyarakat Colo memanfaatkan tumbuhan sebagai obat, selain karena adanya kepercayaan dan keyakinan yang dalam terhadap ajaran Sunan Muria , juga karena adanya beberapa faktor yaitu faktor lingkungan, sosial budaya dan faktor ekonomi.
Mayoritas masyarakat Colo memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitar rumah, kebun dan sawah. Tumbuhan yang digunakan sesuai dengan penyakit yang diderita.
Penulis mencatat lebih dari 100 spesies tanaman obat yang ada di Gunung Muria dimanfaatkan dan diolah sebagai obat serta untuk menjaga kesehatan tubuh.
Sebanyak 56 spesies dipergunakan untuk mengobati penyakit-penyakit yang terjadi pada anak-anak, 28 spesies dimanfaatkan untuk pengobatan dan perawatan pada masa pra dan pasca melahirkan, dan lebih dari 80 spesies untuk mengobati berbagai penyakit dalam.
Pengetahuan tentang tanaman obat ini didapatkan secara turun temurun.
Sebagian besar tanaman obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Colo, selain ditanam di pekarangan rumah, kebun ataupun sawah juga masih bisa di temukan di hutan Colo.
Hutan alam masih menyimpan beragam sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional.
Sebagian masyarakat Colo, terutama para pembuat jamu tradisional, masih membolang (mencari ke hutan dan berapa tempat asing) untuk mencari beberapa jenis tanaman obat terutama dari suku zingiberaceae - seperti kunyit, jahe, lengkuas, kencur, kunyit putih dan lain lain - secara langsung dari hutan Colo.
Disisi lain, masyarakat Colo juga mempunyai pengetahuan tersendiri dalam pengambilan jumlah tumbuhan obat. Mereka memilih jumlah bilangan ganjil dalam mengambil tumbuhan obat, seperti dimulai dari jumlah 1,3,5,7,9,11 dan seterusnya.
Pemilihan jumlah bilangan ganjil dihubungan dengan jumlah walisongo yang berjumlah sembilan orang, dimana bilangan sembilan ini termasuk bilangan ganjil.
Pengambilan jumlah bilangan ganjil juga dihubungan dengan Tuhannya orang Islam yang hanya cuma satu yaitu Allah SWT, yang bermakna ketauhidan. Begitu pula dengan kitab orang Islam juga satu yaitu Al-Quran, sebagai satu-satunya panduan hidup.
Editor : Sulhanudin Attar