Ustadz Khalid Basalamah Akhirnya Minta Maaf Soal Wayang Kulit, Asal Usul Wayang Kulit Bagaimana Sih?
JAKARTA, iNewsSemarang.id - Hari-hari ini media diramaikan pemberitaan wayang kulit tengah karena sebuah potongan video memperlihatkan Ustadz Khalid Basalamah mengatakan bahwa wayang harus dimusnahkan. Sebenarnya, sejarah wayang kulit berasal dari mana?
Kontroversi wayang kulit tersebut membuat Ustadz Khalid Basalamah memberikan klarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf. Menurutnya, tidak ada ada pernyataan yang mengharamkan wayang.
Ia hanya menjelaskan bahwa wayang bukanlah tradisi dalam Islam. Sehingga, sebaiknya jangan menjadikan tradisi dalam Islam dan sebaliknya jadikan Islam sebagai tradisi.
"Video ini teman-teman, kami buat untuk klarifikasi sekaligus permohonan maaf atas potongan pertanyaan yang diajukan salah satu jamaah beberapa tahun lalu di Masjid Blok M di Jakarta, dan sekaligus jawaban kami tentang masalah wayang," tutur Khalid dalam akun Instagram pribadinya, Selasa (15/2/2022).
"Saya mengatakan alangkah baiknya, dan kami sarankan, kami sarankan agar menjadikan Islam sebagai tradisi, jangan menjadikan tradisi sebagai Islam. Dan tidak ada kata-kata saya di situ mengharamkan (wayang)," sambung dia.
Sejarah Wayang Kulit Berasal dari..
Melansir buku 'Mengenal Kesenian Nasional 1 Wayang' karya Kustopo wayang kulit berasal dari sejak zaman dahulu. Bahkan, wayang sudah ada sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia.
Kala itu, pertunjukan wayang masih hanya berupa cuwilan gambar yang diceritakan.
Namun, wayang mulai berkembang di zaman Hindu Jawa. Pertunjukan wayang pun menjadi ritual upacara keagamaan orang Jawa yang berakar dari kepercayaan animisme dan dinamisme.
Diketahui wayang mulai sangat digemari dan dikembangkan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang atau Kediri.
Pada abad ke-10, Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambarnya sendiri merupakan cerita dari Ramayana pada Candi Penataran di Blitar.
Cerita Ramayana sendiri dipilih karena Raja Jayabaya merupakan penyembah Dewa Wisnu yang setia. Bahkan, masyarakat beranggapan Raja Jayabaya adalah titisan Batara Wisnu.
Kesenian wayang terus berkembang, hingga pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir dibuat sebuah wayang dengan cat. Pewarnaan tersebut untuk menyesuaikan martabat tokoh, misalnya raja, kesatria, pendeta, dewa dan lain sebagainya.
Asal Usul Wayang dalam Islam
Namun, ketika kerajaan Majapahit runtuh, wayang kulit beserta gamelan dibawa ke Demak. Hal ini karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menyukai kesenian karawitan dan pertunjukan wayang.
Hanya saja, terjadi kontroversi terhadap wayang karena pengikut agama Islam beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram. Sebab, kesenian tersebut berbau budaya Hindu.
Untuk menghilangkan kesan berbau budaya Hindu dan pemujaan kepada arca, maka diciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan gambaran manusia, yakni wayang purwa.
Wayang kulit berasal dari bahan kulit kerbau yang ditipiskan. Wayang kulit ini dibuat dengan dasar putih dan dicat dengan tinta.
Tokoh yang menciptakan wayang kulit adalah Sunan Kalijogo.
Pada masa kerajaan Demak itulah munculnya wayang kulit. Meskipun dalam pagelarannya masih mempergunakan lakon baku dari kitab Ramayana dan Mahabarata. Namun, sudah dimasukkan unsur-unsur dakwah untuk penyebaran agama Islam.
Pada zaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III perwujudan wayang kulit semakin semarak.
Bentuk-bentuk baku mulai diciptakan, misalnya mata. Pertunjukan wayang pun menjadi salah satu sarana penyebaran agama Islam di Indonesia paling jitu.
Dalam usaha mentaati ajaran agama Islam, wayang kulit, wayang golek dan wayang beber diberi bentuk stilasi dan tidak realistis agar menghindari penggambaran langsung sosok manusia.
Mengapa Wayang Ditetapkan Sebagai Mahakarya Dunia?
Wayang kulit merupakan kesenian yang lahir di bumi Indonesia.
Bahkan, UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan budaya dunia karena sifat lokal dan terjadi pembauran kebudayaan asing yang sempurna sehingga tidak terasa sifat asingnya.
Editor : Miftahul Arief
Artikel Terkait