Makna dan Filosofi Patung Biawak
Hewan biawak yang dijadikan ikon patung tersebut ternyata memiliki makna dan filosofi khusus. Tugu Biawak kini tak hanya menjadi landmark desa, tapi juga wujud nyata kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan seniman lokal yang patut diapresiasi.
“Tugu ini merupakan hasil gagasan pemuda Desa Krasak yang ingin mengangkat identitas lokal melalui seni. Di wilayah ini, biawak memang sering dijumpai dan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat tanpa menimbulkan gangguan,” ujar Bupati Afif.
Pembuat patung biawak, Rejo Arianto menuturkan, alasannya memilih biawak sebagai ikon karena satwa tersebut masih banyak ditemui di wilayah Wonosobo.
Meski patung itu sempat viral di media sosial, Arianto menyikapinya dengan tenang. “Kalau masyarakat senang, saya ikut senang. Kalau kecewa, saya juga kecewa. Tapi sejauh ini banyak sambutan dan dukungan positif,” ujarnya.
Seniman lulusan Institut Seni Indonesia (Surakarta) atau ISI Solo jurusan seni murni lukis itu mengungkapkan, proses pengerjaan patung ini membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan dengan dana sebesar Rp50 juta dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Wonosobo.“Untuk pembuatan patungnya sendiri hanya sekitar satu minggu,” ujar Rejo.
Dia membuat patung biawak raksasa setinggi 7 meter. Kini patung tersebut menjadi ikon baru di jalur nasional Wonosobo-Banjarnegara, tepatnya di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo.
Bahkan banyak warga yang menjadikannya sebagai spot foto selfie maupun sekadar mengabadikannya. Arianto menceritakan, awalnya patung dirancang dengan tinggi 3 meter, namun karena anggaran yang memadai akhirnya diputuskan dibangun setinggi 7 meter.
Dia mengaku meski berlatar belakang seni rupa dua dimensi, dia memiliki minat kuat pada seni tiga dimensi. Patung biawak ini merupakan karya ketiganya dalam bentuk patung. Sebelumnya dia membuat patung Ganesha untuk sebuah kafe dan homestay, serta patung kuda.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait