Selain itu, nilai-nilai luhur dari setiap ajaran tokoh pendidikan di Indonesia juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja karena bisa jadi dalam setiap langkah konseling juga mengacu pada pendapat atau filosofi kehidupan seseorang seperti Ki Hajar Dewantoro, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Sebagai bahan perbandingan, kerendahan hati dalam budaya, sebagai bagian dari orientasi konselor, dapat membantu memfasilitasi aliansi kerja yang kuat dengan klien di berbagai latar belakang budaya (DeBlaere et al., 2019).
Kompetensi multikultural konselor juga merupakan bagai penting dalam memberikan layanan konseling (Greene, 2018). Pertimbangan akan adanya konflik etik dan nilai budaya menjadi pertimbangan pengembangan konseling berkearifan lokal (Delpechitre & Baker, 2017) untuk dikembangkan di Indonesia. Seperti yang dilakukan di China untuk mengembangkan konseling berkearifan lokal dengan nilai-nilai luhur konfusianisme (Matsumoto & Hwang, 2013). Ini cukup mendorong pentingnya pengembangan konseling untuk konteks ke Indonesiaan.
Para pengembang konseling berbasis budaya menyatakan bahwa, sekuat apapun keterampilan konseling yang dikuasai oleh konselor tidak akan efektif jika empati budaya tidak muncul dalam proses konseling (Pederson, Lonner, Draguns, Trimble, & Scharron-Del Rio, 2017). Kompetensi multikultural harus dimiliki oleh konselor dalam memberikan layanan kepada konseli untuk mengurangi resistensi dalam upaya pengubahan sikap, cara berpikir dan tingkah laku konseli (Sue & Sue, 2016). Dalam konteks Indonesia dengan diversitas masyarakat yang tinggi, pilihan paling rasional adalah mengembangkan konseling sekaligus keterampilan konseling yang memuat unsur-unsur budaya terutama yang kaya nilai sebagai jawaban atas tantangan tersebut.
Editor : Miftahul Arief
Artikel Terkait